artikel ini tulisan yang diikut sertakan dalam perlombaan Bebaskan Pengetahuan Tahun 2014 oleh Wikipedia
Lafran Pane dikenal sebagai salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari 1947. [1] Perihal perannya dalam HMI, Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor menetapkan Lafran Pane sebagai pemrakarsanya berdirinya HMI dan disebut sebagai pendiri HMI.[1] Selain dirinya, ada beberapa nama lain yang disebut sebagai pendiri HMI, antara lain: Kartono Zarkasy (Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti Zainah (Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah KH.Ahmad Dahlan, Singapura), Soewali (Jember), Yusdi Gozali (Semarang, juga pendiri PII), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta), Marwan (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), Bidron Hadi (Kauman-Yogyakarta), Sulkarnaen (Bengkulu), dan Mansyur.[1] Lafran Pane sendiri menolak untuk dikatakan sebagai satu-satunya pendiri HMI.[2]
Biografi
Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan, 5 Februari 1922. [2]
Menurut berbagai tulisan sebelumnya, disebutkan bahwa Lafran Pane lahir pada 12
April 1923 di Kampung Pangurabaan, Kecamatan Siporok, sebuah tempat yang
terletak di kaki Gunung Sibualbuali, 38 kilo meter ke arah utara dari
"kota salak" Padang Sidempuan, ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara. [2] Wafat pada tanggal 24 Januari 1991, orang
akhirnya tahu, setelah kematiannya, Lafran ternyata lahir 5 Februari 1922,
bukan 12 April 1922 seperti yang kerap ia gunakan dalam catatan resmi. [2]
Silsilah Keluarga
Lafran Pane adalah anak keenam keluarga Sutan Pangurabaan
Pane dari istrinya yang pertama, Lafran adalah bungsu dari enam bersaudara,
yaitu: Nyonya Tarib, Sanusi Pane, Armijn Pane, Nyonya Bahari Siregar, Nyonya
Hanifiah, Lafran Pane, dan selain saudara kandung, ia juga memiliki dua orang
saudara tiri dari perkawinan kedua ayahnya, yakni: Nila Kusuma Pane dan Krisna
Murti Pane.[2] Ayah Lafran Pane adalah seorang guru sekaligus
seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal.[2]
Keluarga Lafran Pane merupakan keluarga sastrawan dan seniman yang kebanyakan
menulis novel, seperti kedua kakak kandungnya yaitu Sanusi Pane dan Armijn Pane
yang juga merupakan sastrawan dan seniman.[2] Sutan Pangurabaan Pane
termasuk salah seorang pendiri Muhammadiyah di Siporok pada 1921.[2] Sedangkan
Kakek Lafran Pane adalah seorang ulama Syekh Badurrahman Pane, maka pendidikan
keagamaannya didapat sebelum memasuki bangku sekolah. [2]
Riwayat Pendidikan
Pendidikan sekolah Lafran Pane dimulai dari Pesantren
Muhammadiyah Sipirok (kini dilanjutkan oleh Pesantren K.H. Ahmad Dahlan di
Kampung Setia dekat Desa Parsorminan Siporok.[2] Dari jenjang
pendidikan dasar hingga menengah Lafran Pane ini mengalami perpindahan sekolah
yang sering kali dilakukan, hingga pada akhirnya Lafran Pane meneruskan sekolah
di kelas 7 (Tujuh)di HIS Muhammadiyah, menyambung hingga ke Taman Dewasa Raya
Jakarta sampai pecah Perang Dunia II, pada saat itu ibu kota pindah ke
Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang semula di Jakarta juga ikut
pindah ke Yogyakarta.[2] Wawasan dan intelektual Lafran berkembang
saat proses perkuliahan yang membawa pengaruh pada diri Lafran Pane yang
ditandai dengan semakin banyaknya buku-buku Islam yang ia baca.[2] Sebelum
tamat dari STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada April 1948
Universitas Gajah Mada (UGM) yang kemudian di Negerikan pada tahun 1949.[2]
Tercatat dlam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran Pane termasuk
salah satu mahasiswa yang pertama kali lulus mencapai gelar sarjana,yaitu
tanggal 26 Januari 1953. [2] Dengan sendirinya, Drs. Lafran Pane
menjadi salah satu sarjana ilmu politik pertama di Indonesia, selanjutnya
Lafran Pane lebih tertarik di lapangan pendidikan dan keluar dari Kementerian
Luar Negeri dan masuk kembali ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.[2]
Riwayat Pekerjaan
Direktur Kursus B I dan B II Negeri Yogyakarta yang
diselenggarakan Kementerian Pendidikan & Kebudayaan, dan Kemudian menjadi
Fakultas Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Gajah Mada (UGM). kemudian,
Fakultas Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Gajah Mada UGM dengan Institut
Pendidikan Guru (IPG) dilebur menjadi Institut Keguruan & Ilmu Pendidikan
(IKIP) Yogyakarta, kini Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).[3]
Dosen Fakultas Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Yogyakarta.[3]
Dosen Fakultas Sosial dan politik Universitas Gajah Mada
(UGM), dosen Universitas Islam Indonesia (UII), dosen Fakultas Syariah IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.[3]
Dosen Akademi Tabligh Muhammadiyah (ATM), Kemudian menjadi
FIAD Muhammadiyah, kini Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY).[3]
Pernah menjadi dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogykarta (sekarang
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN)), hingga terjadi
peristiwa 10 Oktober 1963. Sepuluh tahun kemudian, atas permintaan Fakultas
Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mulai tahun 1973 Prof. Drs. Lafran Pane
mulai kembali mengajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai Guru Besar
Ilmu Tata Negara.[3]
Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, sejak tanggal
1 Desember 1966, Lafran Pane dianggat menjadi guru besar (profesor) dalam mata
kuliah Ilmu Tata Negara.[3]
Pemikiran
- Mengenai Islam dan Indonesia
Lafran Pane Mengatakan bahwa
Agama Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan hubungan
antara manusia yang satu dengan yang lainnya, baik lingkup keluarga hingga
lingkup masyarakat dan negara.[4] Berkaitan dengan itu, ia meyakini
bahwa Islam berisi peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan untuk segala aspek
kehidupan.[4] Islam dianggapnya sebagai satu kebudayaan yang
sempurna, yang tidak merupakan ciptaan masyarakat, sebab merupakan kebudayaan
yang diturunkan Tuhan langsung kepada masyarakat Arab, serta berlaku universal.[4]
Meskipun demikian, adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda masyarkatnya,
yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan dan lain-lain, maka
kebudayaan Islam hendaknya dapat diselaraskan dengan masing-masing masyarakat
itu.[4] Dalam Masyarakat, segala sesuatu saling mempengaruhi,
manusia mempengaruhi manusia lain, masyarakat dipengaruhi oleh manusia dan
sebaliknya.[4] Begitu pula hasil masyarakat dipengaruhi oleh manusia
dan sebaliknya.[4] Begitu pula hasil kebudayaan yang satu
mempengaruhi yang lain dan selanjutnya mempengaruhi masyarakat yang lain.[4]
Menurut Lafran Pane, setelah kemerdekaan, dampak kolonialisme Belanda tidak
serta-merta lenyap, khususnya dari mereka yang semata-mata menerima pengajaran
di lembaga-lembaga kolonial.[2] Contoh pengaruh tersebut adalah
pandangan yang menganggap bangsa Barat dalam segala hal lebih dari penduduk
lokal.[2] Lafran Pane meyakini bahwa jika ajaran Islam dipraktikkan
oleh rakyat Indonesia dalam segala lapangan hidup dengan sebaik-baiknya,
Belanda tidak mungkin bisa menjajah dan mengekploitasi bangsa Indonesia dalam
kurun waktu yang sangat lama.[2] Pejajahan dimungkinkan karena
Belanda mengetahui lemahnya pendidikan Islam pada mayoritas masyarakat
Indonesia.[2] Islam mengajarkan bahwa semua manusia itu setara dan
perbudakan amat ditentang.[5]
- Pendirian HMI
Lafran mendirikan Himpunan
Mahasiswa Islam sebagai aktualisasi dari pandangannya tentang Islam dan
Indonesia.[6] HMI dilahirkan sebagai suatu reaksi terhadap situasi
saat itu, namun juga berakar pada aspirasi umat Islam yang dikandung selama
berabad-abad lamanya.[6] Dengan mendirikan HMI, Islam mendapat peran
yang lebih tinggi di antara mahasiswa, yakni bahwa Islam bukanlah sekumpulan
kaum yang mempertahankan tradisi dan pengetahuan tradisional.[2]
Selain itu, dengan adanya HMI ide persatuan umat Islam yang mengikis fanatisme
kelompok semakin meningkat.[2]
- Pemikiran Pembaharuan Islam
Menurut Lafran Pane, Tugas umat
Islam adalah mengajak umat manusia kepada kebaikan dan juga menciptakan
masyarakat adil makmur baik secara material dan spiritual.[7] Dengan
adanya gagasan pembaharuan pemikiran keislaman, diharapkan kesenjangan dan
kejumudan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dapat
dilakukan dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam.[7] Kebekuan pemikiran
Islam saat itu telah membawa pada arti agama yang kaku dan sempit, tidak lebih
dari agama yang hanya melakukan peribadatan.[7] Al-Qur’an hanya
dijadikan sebatas bahan bacaan.[7] Agama Islam tidak menempatkan
sebagai agama yang universal. Gagasan pembaharuan pemikiran Islam ini pun
hendaknya dapat menyadarkan umat Islam yang terlena dengan kebesaran dan
kejayaan masa lalu.[7] Demikian memahami pemikiran Lafran Pane yang
tidak lepas dari lingkungannya, yaitu negara Indonesia yang berpendudukan
mayoritas beragama Islam, dengan segala realitas dan totalitasnya. Pemikiran
Lafran Pane tidak bisa dipahami tanpa meletakkannya dalam suatu proses sejarah
atau tradisi panjang yang melingkupinya.[1] Dari pemikiran itu
dampaknya adalah berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam, pada tanggal 5 Februari
1947 Lafran menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI karena ia adalah orang
yang mengagagas HMI, akan tetapi Lafran mundur dari ketua Umum PB HMI pada 22
Agustus 1947 dan pindah menjadi Wakil Ketua Umum, artinya ia hanya menjabat
sebagai Ketua Umum selama 7 bulan dan kemudian posisinya diberikan kepada
seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada bernama Muhammad Syafaat
Mintaredja.[8] Strageti ini dilakukan agar HMI tidak terkesan milik mahasiswa
STI, selain juga memperluas dakwah HMI di kampus umum serta memperkuat posisi
HMI dalam dunia kemahasiswaan.[8]
Karya-karya Lafran Pane
Data-data tentang Lafran Pane tidak banyak berubah sejak
1947. Karya tulisnya pun terbatas. berikut ini merupakan judul karya-karya
Lafran Pane dengan bentuk artikel bebasnya:
- Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia
- Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
- Kedudukan Dekrit Presiden
- Kedudukan Presiden
- Kedudukan Luar Biasa Presiden
- Kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
- Tujuan Negara
- Kembali ke Undang-undang Dasar 1945
- Memurnikan Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
- Memurnikan Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
- Perubahan Konstitusional
- Menggugat Eksistensi HMI. [2]
Referensi
1. Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode
2010-2011 (2010). Modul LK 1 (Basic Training) Himpunan Mahasiswa Islam.
Ciputat: Pengurus HMI Cabang Ciputat. hlm. 3.
2. Hariqo Wibawa Satria (2011). Lafran
Pane Jejak Hayat dan Pemikirannya. Jakarta: Lingkar. hlm. 397.
3. Agussalim Sitompul (1976). Sejarah
Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam 1947-1975. Surabaya: Bina Ilmu Offset.
hlm. 159.
4. Lafran Pane (1949). Keadaan dan
Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia. Yogykarta: Panitia Pusat KMI
Bagian Penerangan. hlm. 56.
5. Agussalim Sitompul (2002). Menyatu
dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran keislaman-Keindonesiaan HMI
1947-1997. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. hlm. 56.
6. Agussalim Sitompul (1997). 50
Tahun HMI Menggayuh di antara Cita dan Kritik. Yogyakarta: Aditya Media.
hlm. 38.
7. Pengurus HMI Komisariat Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2013-2014 (2013). Basic
Training Buku Pedoman Materi Pokok Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam.
Yogyakarta: Pengurus HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. hlm. 4.
8. M. Alfan Alfian (2013). HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) 1963-1966 Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara.
Jakarta: Kompas. hlm. 121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar